Senin, 09 Januari 2017

PENGGUNAAN FRASA PREPOSISIONAL DALAM CERPEN “SATU ORANG SATU POHON” KARYA DEWI LESTARI OLEH ROSA AMALLIA


PENGGUNAAN FRASA PREPOSISIONAL DALAM CERPEN “SATU ORANG SATU POHON” KARYA DEWI LESTARI

Makalah ini dibuat sebagai tugas akhir
mata kuliah Sintaksis










Dosen Pengampu : Dr. Miftahul Khairah, M.Hum.

Disusun Oleh :
ROSA AMALLIA (2125154757)

2 SIL
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017

 







BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Manusia dalam bertutur sapa, berkisah, atau segala sesuatu yang dapat dikatakan sebagai berbahasa, selalu memunculkan kalimat-kalimat yang diirangkai, dijalin sedemikian rupa, sehingga berfungsi optimal bagi si penutur. Interaksi berjalan dengan baik apabila bahasa yang digunakan penutur tidak melukai mitra tuturnya. Dengan kata lain, maksud yang terkandung dalam bahasa dapat dipahami dengan baik oleh mitra tuturnya. Jadi, bahasa yang digunakan harus jelas dan tidak menimbulkan keraguan terhadap mitra tuturnya. Bahasa lisan maupun tulisan sangat didukung oleh pengaturan kata-kata. Pengaturan kata-kata yang dimaksud yaitu kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana yang termasuk ke dalam cabang ilmu linguistik yang disebut satuan sintaksis. Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antarsatuan kata yang lebih besar. Namun, dalam makalah ini penulis hanya membahas tentang frasa khususnya frasa preposisional dan analisisnya dalam sebuah cerita pendek karya Dewi Lestari.
1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa itu sintaksis?
2.      Apa itu frasa preposisional?
3.      Bagaimana analisis frasa preposisional dalam dongeng Putri Tidur?

1.3              Tujuan
1.      Untuk mengetahui hakikat sintaksis.
2.      Untuk mengetahui apa itu frasa prepoisional.
3.      Untuk mengetahui suatu analisis frasa preposisional dalam dongeng


BAB II
LANDASAN TEORETIK
2.1       Hakikat Sintaksis
            Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani, syntaxis yang berarti ‘susunan’ atau ‘tersusun secara bersama’ (Valin, 1997 : 1). Dalam hal ini, sintaksis berusaha menjelaskan hubungan fungsional antara unsur-unsur dalam satuan sintaksis yang tersusun bersama dalam wujud frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Hubungan fungsional di sini berarti hubungan saling ketergantungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain.
Menurut Kridalaksana (1985 : 6), sintaksis adalah subsistem satuan bahasa mencakup kata dan satuan-satuan yang lebih besar dari kata serta hubungan antara satuan itu. Menurut Chaer (2009 : 3), sintaksis adalah subsistem kebahasaan yang membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata itu ke dalam satuan-satuan yang lebih besar, yang disebut satuan sintaksis, yakni kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
Menurut Ahmad (2002 : 1), sintaksis mempersoalkan hubungan antara kata dan satuan-satuan yang lebih besar, membentuk suatu konstruksi yang disebut kalimat. Senada dengan itu, Syamsuddin (2007 : 364) mengungkapkan bahwa sintaksis atau disebut juga ilmu tata kalimat menguraikan hubungan antarunsur bahasa untuk membentuk sebuah kalimat. Ramlan (1987 : 21) memberi batasan sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Pengertian sintaksis yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut menunjukkan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik yang bidang kajiannya meliputi satuan lingual berwujud kata, frasa, klausa, kalimat hingga wacana.

Secara hierarki, kata merupakan satuan terkecil yang dikaji dalam sintaksis, sedangkan wacana merupakan satuan terbesar. Artinya, dalam sebuah konstruksi, terdapat hubungan fungsi antarkata dalam frasa, hubungan fungsi antarkata/frasa dalam klausa, hubungan fungsi antarkata/frasa dalam kalimat, hubungan fungsi antarklausa dalam kalimat, dan hubungan fungsi antarkalimat dalam wacana.

2.2       Hakikat Frasa
            Frasa tersusun atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Artinya, konstruksi frasa hanya menduduki satu fungsi klausa saja, tida mungkin suatu konstruksi frasa menduduki fingsi S dan P sekaligus. Sebagai suatu konstruksi, frasa disusun oleh beberapa unsur pembentuk yang saling berhubungan secara fungsional. Frasa yang berfungsi dan berdistribusi sama dengan salah satu anggota pembentuknya disebut frasa endosentris. Dalam frasa endosentris, ada unsur yang berfungsi sebagai inti (pusat) dan ada unsur yang berfungsi sebagai pewatas. Selain itu, terdapat juga frasa eksosentris, yaitu konstruksi frasa yang tidak berfungsi dan berdistribusi sama dengan semua unsur pembentuknya. Unsur dalam frasa eksosentris terdiri dari unsur perangkai dan sumbu.
            Terdapat berbagai macam frasa yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjectival, frasa numeralia, frasa pronominal, frasa adverbial, dan frasa preposisional.


            2.2.1    Frasa Preposisional
Frasa preposisional merupakan frasa eksosentris, tidak terdiri dari inti dan pewatas, tetapi terdiri dari perangkai dan sumbu. Preposisi berfungsi sebagai perangkai, sedangkan jenis kata yang berfungsi sebagai sumbu adalah nomina, adjektiva, atau adverbia. Preposisi menandai berbagai makna. Kridalaksana (1985 : 118) menyebutkan makna dari frasa preposisional sebagai berikut.
1.      Tempat: di, pada
2.      Arah atau peralihan: ke, dari, kepada, terhadap
3.      Perihal: tentang, akan
4.      Tujuan: untuk, buat
5.      Sebab: karena, lantaran
6.      Asal: dari
7.      Penjadian: oleh
8.      Kesertaan: dengan
9.      Cara: dengan
10.  Alat: dengan
11.  Penyamaan atau perbandingan: sesuai dengan, selaras dengan, seperti, sebagai
12.  Keberlangsungan: sejak, sampai
Suatu preposisi dapat bergabung dengan nomina yang memiliki ciri lokatif, seperti atas, dalam, dari. Nomina lokatif ini ada yang wajib muncul, yaitu dari dan ada pula yang manasuka, yaitu atas dan dalam. Muncul tidaknya nomina lokatif dalam struktur frasa dipengaruhi oleh fitur semantik yang ada pada nomina setelahnya.








BAB III
PEMBAHASAN
3.1       Cerpen “Satu Orang Satu Pohon” Karya Dewi Lestari
Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sana sini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.
Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan.
Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang.  Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan
kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.
Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek 'basah' dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, daripada sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.
Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.
Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.

3.2       Analisis Frasa Preposisional dalam Cerpen “Satu Orang Satu Pohon” Karya Dewi Lestari

1)      Di sepanjang jalan  
di berfungsi sebagai perangkai. sepanjang jalan berfungsi sebagai sumbu.
di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
2)      dalam  kondisi terpotong-potong
dalam berfungsi sebagai perangkai. Kondisi terpotong-potong berfungsi sebagai sumbu. dalam dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
3)      di sana-sini
di berfungsi sebagai perangkai. Sana-sini berfungsi sebagai sumbu.
di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
4)      dari diameter batangnya
dari berfungsi sebagai perangkai. Diameter batangnya berfungsi sebagai  sumbu. dari dalam frasa preposisional di atas bermakna peralihan.
5)      sejak hari itu
sejak berfungsi sebagai perangkai. Hari itu berfungsi sebagai sumbu. sejak dalam frasa preposisional di atas bermakna keberlangsungan.
6)      di kota kita
di berfungsi sebagai perangkai. Kota kita berfungsi sebagai  sumbu. di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat
7)      sebagai            tanda protes
sebagai berfungsi sebagai perangkai. Tanda protes berfungsi sebagai sumbu. sebagai dalam frasa preposisional di atas bermakna penyamaan.
8)      di Jalan Prabudimuntur
di berfungsi sebagai perangkai. Jalan Prabudimuntur berfungsi sebagai sumbu. di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
9)      dalam              tempo sepekan
dalam berfungsi sebagai perangkai. tempo sepekan berfungsi sebagai sumbu. dalam dalam frasa preposisional di atas bermakna waktu.
10)   untuk  tumbuh sama besar
untuk berfungsi sebagai perangkai. tumbuh sama besar berfunngsi sebagai sumbu. untuk dalam frasa preposisional di atas bermakna tujuan.
11)   dengan paham yang sama
dengan berfungsi sebagai perangkai. paham yang sama berfungsi sebagai sumbu. dengan dalam frasa preposisional di atas bermakna kesertaan.
12)   untuk  mendesain
untuk berfungsi sebagai perangkai. mendesain berfungsi sebagai sumbu. untuk dalam frasa preposisional di atas bermakna tujuan.
13)   agar kota ini
agar berfungsi sebagai perangkai. kota ini berfungsi sebagai sumbu. agar dalam frasa preposisional di atas bermakna tujuan.

14)  sebagai            tempat hidup
sebagai berfungsi sebagai perangkai. tempat hidup berfungsi sebagai sumbu. sebagai dalam frasa preposisional di atas bermakna penyamaan.
15)   di tangannya
di berfungsi sebagai perangkai. tangannya berfungsi sebagai sumbu. di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
16)   dari rumah sendiri
dari berfungsi sebagai perangka. Rumah sendiri berfungsi sebagai sumbu. dari dalam frasa preposisional di atas bermakna arah.
17)   dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon
dengan berfungsi sebagai perangkai. Gerakan Satu Orang Satu Pohon berfungsi sebagai sumbu. dengan dalam frasa preposisional di atas bermakna alat. 
18)   dengan menanam sendiri
dengan berfungsi sebagai perangkai. menanam diri berfungsi sebagai sumbu. dengan dalam frasa preposisional di atas bermakna cara.
19)   kepada anak-anak kita
kepada berfungsi sebagai perangkai. anak-anak kita berfungsi sebagai sumbu kepada dalam frasa preposisional di atas bermakna peralihan.
20)   di depan rumah
di berfungsi sebagai perangkai. depan rumah berfungsi sebagai sumbu. di dalam frasa preposisional di atas bermakna tempat.
21)   dengan sekian ratus pohon
dengan berfungsi sebagai perangkai. sekian ratus pohon berfungsi sebagai sumbu. dengan dalam frasa preposisional di atas bermakna kesertaan.

22)   dari warganya
dari berfungsi sebagai perangkai. warganya berfungsi sebagai sumbu. dari dalam frasa preposisional di atas bermakna peralihan.



















BAB IV
PENUTUP
4.1       Kesimpulan
            Berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antarsatuan kata yang lebih besar, yang bidang kajiannya meliputi kata, frasa, klausa, kalimat, hingga wacana. Frasa tersusun atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Frasa preposisional adalah frasa yang tidak terdiri dari inti pewatas, tetapi terdiri dari perangkai dan sumbu sehingga frasa preposisional tergolong frasa eksosentris. Preposisi berfungsi sebagai perangkai, sedangkan nomina, adjektiva, atau adverbial berfungsi sebagai sumbu.
            Berdasarkan analisis frasa preposisional yang telah dilakukan dalam cerpen “Satu Orang Satu Pohon” karya Dewi Lestari, dapat disimpulkan bahwa terdapat sebanyak 22 frasa preposisional dalam cerpen tersebut.
4.2       Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kesediaan pembaca untuk memberi saran agar penulisan makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA


Khairah, M., & Sakura, R. (2014). Sintaksis Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Art, A. (n.d.). Makalah Sintaksis (Kata, Frasa, Klausa, Kalimat, dan Wacana). Retrieved Januari 9, 2017, from Pemuda Silampari: http://pemudasilampari.blogspot.co.id/2015/08/makalah-sintaksis-kata-frase-klausa.html
Pramesti, G. (n.d.). Cerpen Satu Orang Satu Pohon Karya Dewi Lestari. Retrieved Januari 9, 2014, from Loker Seni: http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-satu-orang-satu-pohon-karya-dewi.html


 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar