KALIMAT IMAJINATIF DALAM CERPEN KOMA DAN TITIK KARYA MU’HID RAHMAN
Oleh:
Cindy Oktaviani
2125150846
Dosen Pengampu:
Dr. Miftahul Khairah, M.Hum., M.Phil
2 SASTRA INDONESIA KONSENTRASI LINGUISTIK
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kemudahan dalam mengerjakan makalah untuk tugas ini.
Beserta bantuan dari teman-teman yang memberikan saran-saran dalam pengerjaan makalah ini. Makalah ini penulis berikan judul “Kalimat Imajinatif pada Cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sintaksis dengan Dosen Pengampu Bu Dr.Miftahul Khairah, M.Hum., M.Phil. yang telah membimbing dengan baik dalam pengajaran materi mulai dari pengenalan frasa hingga proses pembentukan kalimat. Semoga ilmu-ilmu yang disampaikan beliau dapat bermanfaat dan dapat selalu diingat oleh penulis.
Penulis mengakui kekurangan yang ada pada makalah ini. Mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam pembahasan yang penulis paparkan karena penulis masih dalam proses belajar mendalami mata kuliah ini. Kritik dan saran yang membangun, sangat diterima oleh penulis untuk perbaikan makalah selanjutnya. Semoga bermanfaat untuk para pembaca.
Jakarta, Januari 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah ketetapan dalam mengeluarkan imajinasi melalui identitas dari seorang penulis yang mengutarakan bahasa tersebut. Meski bahasa sendiri sangat beragam dan setiap manusia memiliki suku bangsa tersendiri. Namun dengan bahasa itu sendiri menjadi sebuah penguatan bahwa dengan semakin beragamnya suku dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia, tidak akan membuat kita sebagai rakyatnya menjadi terpecah karena bahasa, justru perbedaan dapat menyatukan setiap insan. Belajar dan memakai suatu bahasa tidaklah cukup apalagi untuk seorang peneliti, tentulah perlu analisis khusus untuk dapat mengetahui kata-kata yang selama ini dipergunakan dalam masyarakat benar atau tidak.
Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek, cerita ini dapat mencakup banyak ragamnya, dan tentunya lebih singkat daripada novel sehingga kita mampu menyelesaikan dalam membacanya hanya dalam waktu beberapa menit saja. Cerpen merupakan cerita yang pendek, akan tetapi berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya (Nurgiyantoro, 2012; 10). Ukuran cerita pendek di sini bersifat relatif (Suyanto, 2012; 46).
Menurut Kridalaksana (2002:43-44), Satuan bahasa itu membentuk hierarkis, mulai dari kata, frasa, klausa, kalimat, gugus kalimat, paragraf, gugus paragraf, sampai wacana. Kalimat memiliki dua fungsi, yakni fungsi internal dan eksternal. Dalam fungsi internal meliputi fungsi semantik, fungsi sintaksis, dan fungsi pragmatik. Sementara fungsi eksternal meliputi fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasional, fungsi interaksional, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif.
Fungsi eksternal kalimat adalah fungsi yang berusaha memahami penggunaan satuan-satuan sintaksis untuk mencapai tujuan komunikasi. Fungsi eksternal kalimat berhubungan dengan orientasi tujuan komunikasi bahasa. Salah satunya adalah fungsi imajinatif. Fungsi imajinatif digunakan untuk menciptakan sistem atau ide yang imajinatif. Penggunaan bahasanya lebih dititikberatkan pada segi estetik. Penggunaan fungsi ini biasanya untuk mengisahkan cerita atau dongeng, menyatakan fantasi dan khayalan dalam bentuk puisi, prosa, lelucon dan sebagainya.
Kalimat imajinatif adalah jenis kalimat yang dibentuk dengan bahasa yang indah, puitis dan metaforik. Biasanya isi atau pesan yang terdapat dalam kalimat ini lebih bersifat fiktif, tidak faktual, karena menggambarkan sesuatu berdasarkan daya khayal.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan menganalisis cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman untuk mengetahui kalimat imajinatif yang terdapat pada cerpen tersebut. Cerpen “Koma dan Titik” penulis unduh dari website internet Horison Online. Karena dari Horison yang merupakan salah satu majalah sastra, penulis akan melihat tentang daya khayal dari Mu’hid Rahman ini dalam menciptakan kalimat imajinatif pada cerpen yang beliau karang di website Horison Online tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang dapat penulis ambil adalah
1. Bagaimana analisis Kalimat Imajinatif pada Cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman?
C. Tujuan
1. Mengetahui lebih dalam mengenai analisis kalimat imajinatif pada cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman
2. Mengidentifikasi kalimat imajinatif pada cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman
D. Manfaat Penelitian
Suatu peristiwa ilmiah harus mampu memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
a. Sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya tentang penggunaan kalimat imajinatif dalam cerpen
b. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pemahaman tentang bentuk-bentuk, jenis dan fungsi penggunaan kalimat imajinatif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti Bahasa Indonesia dan dapat digunakan sebagai gambaran penelitian bahasa di masa mendatang.
b. Bagi mahasiswa lain, yang meneliti permasalahan yang sama, yakni mengetahui penggunaan kalimat imajinatif dalam karya sastra.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman
Dari sudut jauh, aku melihat titik cahaya membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun, ada yang aneh dari apa yang aku lihat. Semuanya putih. Putih tanpa ada benda bertepi gelap dan warna hitam yang menunjukkan perspektif pandang. Tidak ada warna selain putih. Sesaat kemudian, semuanya berjalan seperti tidak asing selama ini.
Pagi itu, ibu membuat ote-ote dibantu adikku, Ninis, yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar. Mereka berdua nampak sibuk. Tangan mereka kotor oleh tepung basah. Memasukkan beberapa potongan sayur seperti wortel, kecambah dan yang lain ke dalam adonan tepung dari wadah itu. Aku rasa hal itu tak lama berselang. Setelah aku melewati kelambu pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah, aku terkejut dengan apa yang ada di ruang tamu. Banyak sekali orang-orang berkumpul di ruang tamu. Ada dari wajah mereka memasang tangis. Aku masih belum paham tangis apa itu. Tapi, kenapa ibu dan adikku, Ninis, membuatote-ote?
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa berlutut dan menjangkau untuk meletakkan pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang terbujur pucat pasi tanpa nafas itu ialah…
***
“Tri, jangan lupa bawa ote-ote ibumu ke warung Bu Yat di belakang SD, ya?”, kata Bapak sebelum mengawali kayuhan becak tuanya di suatu pagi.
“Iya, pak.. Siap lah pokok’e. Nanti sekalian aku ngambil uang ote-ote jatah kemarin..”, senyumku menghiasi jawaban untuk bapak tercintaku.
Kayuhan demi kayuhan untuk mengantar aku dan adikku ke sekolah mengawali setiap pagi bapak. Sebenarnya, dari awal aku memilih jalan kaki tanpa harus diantar oleh bapak dengan becak tuanya. Tapi, bapak selalu memaksaku ikut dengan becak tuanya. Alasannya, karena perempatan tempat bapak memarkirkan becak dan menunggu penumpang sangat dekat dengan sekolahku, sejalan pula. Jadi, tiap pagi aku dan adikku, Ninis, selalu diantar oleh bapak dan becak kesayangannya itu. Becak yang juga menjadi sarana pekerjaan-tunggal bapak.
Bapak tidak pernah sekolah. Sekolah Rakyat pada waktu bapak kecil jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari rumah, belum lagi harus membayar uang bulanan. Padahal, untuk menjaga dapur agar tetap berasap saja bapak harus mencari uang seorang diri semenjak mbah kakung dan mbah putriku dibawa paksa orang tak dikenal dengan pakaian militer.
Pada suatu hari, adik-mbah kakung mengajaknya tinggal bersama. Bapak kemudian hidup dengan adik-mbah kakungku yang telah lama ditinggal istrinya pergi mencari uang di ibu kota, sementara ia belum meninggalkan anak yang hidup. Tiga kali mengandung, semuanya keluar tanpa nyawa. Ada juga yang masih berupa seonggok janin.
Hingga ajal menjemput adik-mbah kakungku itu, istrinya pun masih tak ada kabar. Entah di mana. Padahal, kiriman wesel tak pernah telat darinya. Begitu pula dengan alamat pengirim wesel itu, tak pernah tetap. Pernah tertulis Semarang di bagian pengirimnya, Bandung, Jakarta. Entahlah. Entah di mana.
Bapak mendapat becak ini juga dari tinggalan adik-mbah kakung. Adik-mbah kakung menyimpan lebihan uang wesel setelah ia gunakan untuk kehidupan dalam sebulan. Dalam setahun ia sudah mampu membeli becak. Becak tergolong kendaraan yang tidak murah di masa itu, di saat bapak berumur 12 tahun. Karena, hanya kendaraan itulah yang digunakan untuk membawa penumpang dari perempatan sebelum Jembatan Merah menuju makam Sunan Ampel.
“Nis, mbak besok mau sekolah di SMPN Tunas Bangsa. Tahu kan? Pernah dengar nama sekolah itu kan, Nis?”, tanyaku mengajak adik membuat harapan indah di pagi itu.
“Pak, setahun lagi Retno tamat SD.. Bisa ndak ya sekolah di SMPN Tunas Bangsa? SMP di samping kantor kecamatan itu lho, pak..”, pertanyaan sama aku tujukan pada bapak yang sedari tadi mengayuh becaknya.
“Bisa, pasti bisa. Kamu pasti bisa jika kamu mau berusaha, Tri..”, jawab bapak dengan bijak.
“Tapi, itu kalau kamu dapat biaya dari pemerintah. Besok, jangan peringkat 2 lagi ya? Harus 1, biar dapat sekolah gratis di SMP yang kamu inginkan itu..”, tambah bapak.
“Iya, pak.. Tri mulai hari ini mau berusaha belajar lebih giat. Pokok’e ranking setunggaaal..”, sorak soraiku tidak lama sebelum bapak menginjak rem becak agar berhenti tepat di samping gapura SD.
***
Semenjak pagi itu, aku selalu bersemangat untuk sekolah. Bagaimana tidak? Samping kiri jalan, tepatnya belokan sebelum sekolahku terpasang sebuah baliho besar SMPN Tunas Bangsa. Setiap kali berangkat, aku melihat ada asaku di sana. Ada cita-citaku di sana. Ada keinginan yang semakin hari semakin besar setiap melewatinya, pulang dan pergi sekolah.
Namun, semenjak pagi itulah, terakhir kalinya aku berbicara pada Ninis. Aku sudah tidak mungkin bisa berangkat bersama adikku yang pendiam dan penurut itu. Aku tidak akan menemukan keindahan pagi bersama adik tersayangku. Sekarang, aku hanya bisa duduk leluasa, longgar, dan sepi di atas becak yang dikayuh bapak. Bapak cukup tegar. Ia hanya menangis saat benar-benar teringat Ninis. Ya. Ninis dan juga ibu. Ia hanya menangis setiap doa usai salat. Di setiap hari dan setiap kegiatan yang menjadi kewajibannya, bapak tidak pernah terlihat menangis.
Hanya terlihat sorot mata yang tidak sesemangat hari-hari kemarin. Ada sendu yang bisa dibaca dari sembab kelopak mata bapak yang kian hari kian menggelap.
Ibu dan Ninis meninggalkan kami berdua. Kami tidak rela ibu dan Ninis pergi. Pergi selamanya dengan cara sangat tersiksa oleh panas api. Mereka berdua terjebak dalam kebakaran rumah sehari setelah pagi yang menjadi memori tersendiri bersama Ninis dan ote-ote ibu.
Hari itu, Ninis jatuh sakit. Demam panas. Ia tidak berangkat sekolah dan akulah yang menyampaikan surat ijin yang dibuat ibu untuk walikelas Ninis. Ternyata, Tuhan telah mengatur semua. Ya. Dengan aturan Tuhan seperti ini cukup membuat aku agak merasa tak menentu antara marah, tanya, tak terima, entahlah. Bagaimana bisa? Aku tidak hanya kehilangan ibu, tapi juga Ninis, adikku, dalam satu waktu dan satu kobaran api.
Cukup.. Cukup.. Aku sebenarnya tak kuasa kembali menulis dan menuangkan panjang lebar ingatanku tentang ibu dan Ninis pada cerita ini. Aku tak tega jika harus mengingat betapa panas api memaksa mereka berdua melepas ajal. Aku dan bapak tidak tahu apa yang menjadi penyebab rumah kami yang hampir semua dari bambu lapuk itu terbakar. Yang jelas hanya ada satu kemungkinan rumah kami bisa terbakar : kompor.
Kompor gas subsidi ibu satu-satunya penyebab rumah kami terbakar. Mungkin, tabung gas kompor ibu bocor, meledak, atau entahlah. Yang jelas, ibu dan Ninis sudah pergi. Pergi selamanya. Aku tak tega, sungguh tak tega melihat hitam legam kulit di badan ibu.
Apalagi Ninis yang sebagian kulitnya terpisah, melekat pada tiang yang juga menjatuhinya saat api melalap rumah.
***
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa menjangkau untuk meletakkan pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang terbujur pucat pasi tanpa nafas itu ialah...
***
“Tin.tiiiin.. Sreeeeiiiitttt… Brak!”
Suara klakson dari belakang dan benturan keras itu yang aku ingat sebelum semuanya menjadi gelap. Aku tak ingat ada bapak yang juga bersamaku. Ia di belakang mengayuh becaknya. Ah, iya. Bapak di belakang mengayuh becaknya. Lantas, di mana bapak? Di mana aku sekarang?
Gelap. Aku tak tahu mataku terpejam ataukah membuka. Yang jelas, semua nampak hitam. Tidak ada yang aku rasa kecuali serasa memar di kepalaku bagian belakang. Gelap. Aku berusaha membuka kelopak mataku. Gelap. Bagaimana ini? Aku yakin mataku sudah terbuka lebar tapi kenapa yang ada hanya gelap?
Dari sudut jauh, aku melihat titik cahaya membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun, ada yang aneh dari apa yang aku lihat. Semuanya putih. Putih tanpa ada benda bertepi gelap dan warna hitam yang menunjukkan perspektif pandang. Tidak ada warna selain putih. Sesaat kemudian, semuanya berjalan seperti tidak asing selama ini.
Pagi itu, ibu membuat ote-ote dibantu adikku, Ninis, yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar. Mereka berdua nampak sibuk. Tangan mereka kotor oleh tepung basah. Memasukkan beberapa potongan sayur seperti wortel, kecambah dan yang lain ke dalam adonan tepung dari wadah itu. Aku rasa hal itu tak lama berselang. Setelah aku melewati kelambu pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah, aku terkejut dengan apa yang ada di ruang tamu. Banyak sekali orang-orang berkumpul di ruang tamu. Ada dari wajah mereka memasang tangis. Aku masih belum paham tangis apa itu. Tapi, kenapa ibu dan adikku, Ninis, membuatote-ote?
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa berlutut dan menjangkau untuk meletakkan pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang terbujur pucat pasi tanpa nafas itu ialah bapak.
“Bapaaaaaaak..”, teriakku sekencang mungkin.
Badanku lemas. Lemas tak kuasa membendung air mata.
“Bapaak,”
Ada yang aneh. Orang di sekelilingku mengacuhkanku. Mereka mengacuhkan teriakan dan tangisku sedari tadi. Mereka sibuk dalam sedih dan nuansa duka mereka sendiri. Tak ada yang mendekatiku, membujuk tangisku agar terdiam. Apa mereka menganggap tangis dan teriak seorang anak yang bapaknya meninggal ialah hal wajar?
Aku masih mencoba mencari jawaban. Melihat sekeliling. Tiba-tiba ada keributan membelah kerumunan orang-orang yang sedari tadi berkumpul. Aku menemukan sekelompok ibu-ibu sedang membantu perawat memindahkan satu tubuh tertutupi kain batik coklat yang terlihat basah dari depan rumah. Nampak ada mobil ambulans berhenti di depan rumah. Kemudian, mereka membaringkannya di atas meja panjang tepat di samping jasad bapak. Aku tak asing dengan wajah itu. Ternyata, itu wajahku.
Cairo, 29 Januari 2013
B. Analisis Kalimat Imajinatif pada Cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman
Pada kalimat pertama
1. Dari sudut jauh, aku melihat *titik cahaya membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada.
Unsur imajinatif sudah ada dan menggambarkan nilai metafor dari cerpen ini. Kalimat tersebut mengartikan bahwa
Dari kejauhan, aku melihat cahaya yang sangat terang dan lebar hingga membuat mataku terbuka melihat sekitar .
2. Semuanya putih
Mengartikan bahwa
Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
3. Aku masih bisa berlutut dan menjangkau untuk *meletakkan pipi basahku.
Mengartikan bahwa
Aku masih bisa menjangkau sambil menangis di hadapannya.
4. Sementara ia *belum meninggalkan anak yang hidup.
Mengartikan bahwa
Sementara ia belum meninggalkan satu anak pun.
5. Setiap kali berangkat, aku melihat *ada asaku di sana.
Mengartikan bahwa
Setiap kali berangkat, aku melihat ada harapan untuk masa depanku berada disana.
6. Aku tidak akan menemukan *keindahan pagi bersama adik tersayangku.
Mengartikan bahwa
Aku tidak akan melewati setiap pagiku bersama adik tersayangku.
7. *Ada sendu yang bisa dibaca dari sembab kelopak mata bapak yang kian hari kian menggelap.
Mengartikan bahwa
Ada sedih yang aku ketahui dari bekas tangis kedua mata bapak yang semakin hari semakin menua.
8. Aku tak tega jika harus mengingat *betapa panas api memaksa mereka berdua melepas ajal.
Mengartikan bahwa
Aku tidak tega jika harus mengingat kebakaran yang telah berhasil merenggut nyawa mereka berdua.
9. Mereka sibuk dalam *sedih dan nuansa duka mereka sendiri.
Mengartikan bahwa
Mereka larut dalam suasana sedih yang diciptakan sendiri.
10. Tiba-tiba ada *keributan membelah kerumunan orang-orang yang sedari tadi berkumpul.
Mengartikan bahwa
Ada keributan di tengah kerumunan orang-orang yang berkumpul.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalimat imajinatif yang telah penulis temui dari cerpen “Koma dan Titik” karya Mu’hid Rahman yakni berjumlah 10 kalimat. Setiap kalimat tersebut memang memiliki makna tersirat atau kata-kata yang berunsur metaforik. Benar adanya bila fungsi imajinatif atau kalimat imajinatif ini terdapat pada sekumpulan prosa, puisi, dongeng, cerita fantasi dan lain-lain. Karena penulis dengan mudah menemukan kata tersirat tersebut dalam karya sastra prosa, yakni dalam cerpen ini. Cerpen tersebut memiliki sejumlah 10 kalimat imajinatif berdasarkan analisis dari penulis.
B. Saran
Dikarenakan penelitian tentang kalimat imajinatif pada sebuah karya sastra prosa berupa cerpen meski sedikit namun terkesan mudah. Oleh sebab itu, untuk penelitian selanjutnya penulis dapat menganalisis fungsi eksternal maupun fungsi internal selain fungsi imajinatif untuk pembelajaran sintaksis yang lebih mendalam mengenai kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Khairah, Miftahul dan Sakura Ridwan. 2014. Sintaksis: Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Horisononline.or.id -- (diakses tanggal 7 Januari 2017, pukul 20:25)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar