Senin, 09 Januari 2017

FRASA ADJEKTIVAL DALAM CERPEN JENDELA RARA KARYA ASMA NADIA

FRASA ADJEKTIVAL DALAM CERPEN
JENDELA RARA KARYA ASMA NADIA



Mata Kuliah Sintaksis
Dosen Pengampu :  Dr. Miftahul Khairah Anwar., M.Hum.

Ulfah Ratna Sari      2125152897
2 Sastra Indonesia Linguistik



Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta

2017






KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat berhasil mengerjakan makalah ini.
            Penulis juga ingin mengucapkan terimkasih kepada pihak- pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini :
1.      Dr. Miftahul Khairah Anwar., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah sintaksis yang telah membimbing penulis untuk mengerjakan tugas ini.
2.      Orang tua dan teman-teman yang selalu mendukung dan memotivasi penulis.
3.      Asma Nadia atas cerpen berjudul Jendela Rara.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan  makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang penulis gunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini lebih lanjut, akan penulis terima dengan senang hati. Terimakasih.                  

Penulis





BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
Frasa merupakan salah satu bagian dari kajian sintaksis. Sebagai suatu konstruks, frasa disusun oleh beberapa unsur pembentuk yang saling berhubungan secara fungsional. Frasa tersusun atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Artinya, konstruksi frasa hanya menduduki satu fungsi klausa, apakah itu unsur S saja, unsur P saja, unsur O saja, unsur K saja atau unsur pelengkap saja.
Dalam kajian sintaksi kita tentu telah mengenal berbagai macam frasa. Ada frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa numeralia, frasa pronominal, frasa adverbial, dan frasa preposisional. Dalam makalah ini penulis akan mengambil frasa adjektival sebagai fokus penelitian.
Frasa adjktival adalah satuan sintaksi yang terbentuk dari dua kata atau lebih yang dapat menggantikan kategori adjektiva. Frasa ini memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Adjektiva berfungsi sebagai inti.
 Frasa adjektival tentu dapat kita temui di berbagai bahan bacaan. Entah ini artikel, koran, majalah, cerpen, maupun novel. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul “Frasa Adjektival dalam Cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia”






1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1.      Ada berapa frasa adjektival dalam cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia?
1.2.2.      Apa fungsi yang melekat dalam frasa tersebut?

1.3         Tujuan Penelitian
Dalam penulisan makalah ini terdapat dua tujuan yang hendak penulis capai, yaitu :
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari makalah ini yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa adjektival.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini yaitu menganalisis frasa adjektival dalam cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia.









BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1.   Pengertian Frasa
Frasa adalah satuan sintaksis yang tersusun atas dua kata atau lebih. Konstruksi frasa berhubungan secara fungsional. Hubungan fungsi frasa dapat berupa hubungan inti dan pewatas atau hubungan perangkai dan sumbu. Contoh :





Contoh diatas termasuk dalam frasa endosentris yaitu frasa yang berdistribusi sama dengan salah satu anggotanya. Frasa endosentris terdiri dari inti dan pewatas.
Selan frasa endosentris, terdapat juga frasa eksosentris yaitu konstruksi frasa yang tidak berfungsi dan berdistribusi sama dengan semua unsur pembentuknya.
Kontribusi frasa tidak boleh melebihi batas fungsi. Artinya, konstruksi frasa hanya menduduki satu fungsi klausa, apakah itu unsur S saja, unsur P saja, unsur O saja, unsur K saja atau unsur pelengkap saja. Konstruksi frasa bersifat nonpredikatif.


2.2.   Pengertian Frasa Adjektival
Frasa adjektival adalah satuan sintaksis yang terbentuk dari dua kata atau lebih yang dapat menggantikan kategori adjektiva. Frasa ini memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Adjektiva berfungsi sebagai inti. Konstruksi frasa adjektival bias tersusum secara endosentris subordinatis dan endosentris koordinatif.
Endosentris subordinatif yaitu konstruksi frasa adjektival yang terdiri atas inti dan pewatas. Contoh :


Dalam frasa semakin gemuk, kata semakin merupakan pewatas dan kata gemuk merupakan inti.
Endosentris koordinatif yaitu konstruksi frasa adjektival yang terdiri dari dua unsur inti. Contoh :



Dalam frasa sangkil dan mangkus, kedua adjektiva tersebut merupakan inti yang saling melengkapi.


2.3.   Hubungan Fungsional Antarunsur dalam Frasa Adjektival
Hubungan fungsional antarunsur dalam frasa adjektival dan makna gramatikannya, yaitu sebagai berikut :
1.      Hubungan fungsional antara adverbial sebagai pewatas depan dan adjektiva sebagai inti.

F.Adj : Adv  + Adj
Pewatas
Inti
Lebih rajin
Lebih
Rajin
Terlalu pintar
Terlalu
Pintar
Sangat malas
Sangat
malas

2.  Hubungan fungsional antara adjektiva sebagai inti dan adverbial sebagai pewatas belakang. Adverbia yang bias berfungsi sebagai pewatas belakan adalah lagi, kembali, juga, saja, dan sekali.

F.Adj : Adj  + Adv
Pewatas
Inti
Rajin sekali
Rajin
sekali
Sakit lagi
Sakit
lagi
Setia juga
Setia
juga

3.    Hubungan fungsional antara adjektiva sebagai inti dan nomina sebagai pewatas belakang. Contoh : gagah perwira. Kata gagah termasuk adjektiva dan berfungsi sebagai inti, sedangkan kata perwira termasuk nominal dan berfungsi sebagai pewatas.

4.  Hubungan fungsional antara adjektiva sebagai inti dan adjektiva sebagai pewatas belakang. Contoh : biru muda.

5.        Hubungan fungsional antara adjektiva sebagai inti dan verba sebagai pewatas belakang. Contoh berani tempur.

6.    Hubungan fungsional antara dua kata berbentuk adjektiva yang keduanya berfungsi sebagai inti. Contoh : gelap gulita.






BAB III
PEMBAHASAN


3.1.       Deskrisi Data
Data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu cerita pendek berjudul Jendela Rara karya Asma Nadia dari Buku Album Cerita Pilihan Asma Nadia : Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci, terbitan Asma Nadia Publishing House, hlm. 87-99.

3.2.       Cerpen Jendela Rara Karya Asma Nadia

JENDELA RARA

Sebuah rumah imut
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
Apa lagi?
Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.
“Mak, kapan kita punya rumah?”
Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga.
“Mak, kapan kita punya rumah?”
Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana.
Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.
Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap…
“Ini rumah kita, Ra!”
Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya:
Sebuah rumah imut
dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.
“Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”
“Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?
Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?
Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil.
Rara anaknya yang bontot. Sangat keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.
“Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?”
Rara menggoyang bahu Emaknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”
Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah.
“Yang bener, Ra?”
Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya.
“Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”
Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.
“Bisa belajar di sana dong?”
“Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”
Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.
“Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!”
“Aku juga!”
“Apa? Jendela di rumah Rara?”
“Gue juga deh. Mau bilang Bapak!”
“Enak ada jendela!”
Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.
“Jendelaku nanti paling buesar!”
Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
“Jadi bikin jendela, Ra?”
Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
“Udah malam kok belum tidur?”
Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.
“Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi.
“Jendela? Kok gede banget!”
Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.
“Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap.
Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar usang. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja.
“Bang…”
Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat.
“Masih ngeributin soal jendela?”
Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.
“Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.”
“Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
“Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!
Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”
Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.
“Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”
Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar.
Rara tahu, tidak cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.
Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.
“Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.
“Asih!”
Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.
“Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.
Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu…
“Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras.
“Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?
“Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”
Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.
“Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”
“Dan itu mahal, tau, Ra!”
“Ssst… Asih!”
Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya.
Dan semua gara-gara jendela besar Rara.
Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.
Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.
Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
“Assalamu’alaikum! Emak?”
Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
“Mak, sini.”
Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.
“Apaan sih, Ra?”
Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.
“Mak, tebak!”
“Apaan?”
Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.
Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.        
“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!” Papar gadis kecil itu ceriwis.
Jendela?
Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup.
“Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…”
Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius.
“Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!”
Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar. Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya.
Rumah kami, 2003

3.3.       Frasa Adjektival dalam Cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia
Dalam cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia terdapat 17 frasa adjektival, yaitu sebagai berikut :
1.        lebih kokoh
Frasa lebih kokoh merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata kokoh termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

2.        sangat sederhana
Frasa sangat sederhana merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata sederhana termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

3.        rajin sekolah
Frasa rajin sekolah merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata rajin termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti dan kata sekolah termasuk verba berfungsi sebagai pewatas.

4.        sangat keras kepala
Frasa sangat keras kepala merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata keras kepala termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

5.        ikut senang
Frasa ikut senang merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata ikut termasuk verba berfungsi sebagai pewatas dan kata senang termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

6.        lebih besar
Frasa lebih besar merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata besar termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

7.        makin panas
Frasa makin panas merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata makin termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata panas termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

8.        kuat banget
Frasa kuat banget merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata kuat termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti dan kata banget termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas.

9.        lembut dan baik hati
Frasa lembut dan baik hati merupakan frasa endosentris koordinatif karena tersusun atas inti dan inti.

10.    makin menor
Frasa makin menor merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata makin termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata menor termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

11.    tidak tega
Frasa tidak tega merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata tidak termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata tega termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

12.    lebih giat
Frasa lebih giat merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata giat  termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

13.    sangat tinggi
Frasa sangat tinggi merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata tinggi termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

14.    masih terang
Frasa masih terang merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata masih termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata terang termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

15.    sedikit cemas
Frasa sedikit cemas merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sedikit termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata cemas termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

16.    terlalu riang
Frasa terlalu riang merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata terlalu termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata riang termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.

17.    coklat tua
Frasa coklat tua merupakan frasa endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata coklat termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti dan kata tua  termasuk adjektiva berfungsi sebagai pewatas.






BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dihasilkan yaitu di dalam cerpen berjudul Jendela Rara karya Asma Nadia, yaitu terdapat 17 frasa adjektival yang berbeda, terdiri dari 16 frasa endosentris subordinatif dan 1 frasa endosentris koordinatif. 13 diantaranya merupakan hubungan fungsional antara adverbia sebagai pewatas depan dan adjektiva sebagai inti.


4.2  Saran
Dari makalah ini, penulis sadar bahwa hasil analisi frasa dalam cerita pendek berjudul Jendela Rara karya Asma Nadia masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami meminta kritik dan saran dari pembaca agar lebih baik dalam penyusunan, dan untuk tugas-tugas analisis selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Khairah, Miftahul & Sakura Ridwan. 2014. Sintaksis: Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar