FRASA ADJEKTIVAL
DALAM CERPEN
JENDELA RARA KARYA ASMA NADIA
Mata Kuliah Sintaksis
Dosen Pengampu :
Dr. Miftahul Khairah Anwar., M.Hum.
Ulfah Ratna Sari 2125152897
2 Sastra Indonesia Linguistik
Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat berhasil mengerjakan makalah ini.
Penulis
juga ingin mengucapkan terimkasih kepada pihak- pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini :
1. Dr.
Miftahul Khairah Anwar.,
M.Hum. selaku
dosen pengampu mata kuliah
sintaksis yang telah membimbing penulis untuk
mengerjakan tugas ini.
2. Orang
tua dan teman-teman yang selalu mendukung dan memotivasi penulis.
3. Asma Nadia atas cerpen berjudul Jendela Rara.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang penulis gunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran
yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini lebih lanjut, akan penulis terima dengan senang hati. Terimakasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Frasa merupakan salah satu bagian dari kajian
sintaksis. Sebagai suatu konstruks, frasa disusun oleh beberapa unsur pembentuk
yang saling berhubungan secara fungsional. Frasa tersusun atas dua kata atau
lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Artinya, konstruksi frasa
hanya menduduki satu fungsi klausa, apakah itu unsur S saja, unsur P saja,
unsur O saja, unsur K saja atau unsur pelengkap saja.
Dalam kajian sintaksi kita tentu telah mengenal
berbagai macam frasa. Ada frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa
numeralia, frasa pronominal, frasa adverbial, dan frasa preposisional. Dalam
makalah ini penulis akan mengambil frasa adjektival sebagai fokus penelitian.
Frasa adjktival adalah satuan sintaksi yang
terbentuk dari dua kata atau lebih yang dapat menggantikan kategori adjektiva.
Frasa ini memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Adjektiva berfungsi
sebagai inti.
Frasa
adjektival tentu dapat kita temui di berbagai bahan bacaan. Entah ini artikel,
koran, majalah, cerpen, maupun novel. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
membuat makalah yang berjudul “Frasa Adjektival dalam Cerpen Jendela Rara karya
Asma Nadia”
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1.
Ada berapa frasa
adjektival dalam cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia?
1.2.2.
Apa fungsi yang
melekat dalam frasa tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian
Dalam penulisan makalah ini terdapat dua tujuan yang
hendak penulis capai, yaitu :
1.3.1.
Tujuan Umum
Adapun
tujuan umum dari makalah ini yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa
adjektival.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun
tujuan khusus dari makalah ini yaitu menganalisis frasa adjektival dalam cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian
Frasa
Frasa
adalah satuan sintaksis yang tersusun atas dua kata atau lebih. Konstruksi
frasa berhubungan secara fungsional. Hubungan fungsi frasa dapat berupa
hubungan inti dan pewatas atau hubungan perangkai dan sumbu. Contoh :
Contoh diatas termasuk dalam frasa endosentris yaitu
frasa yang berdistribusi sama dengan salah satu anggotanya. Frasa endosentris
terdiri dari inti dan pewatas.
Selan frasa endosentris, terdapat juga frasa
eksosentris yaitu konstruksi frasa yang tidak berfungsi dan berdistribusi sama
dengan semua unsur pembentuknya.
Kontribusi frasa tidak boleh melebihi batas fungsi.
Artinya, konstruksi frasa hanya menduduki satu fungsi klausa, apakah itu unsur
S saja, unsur P saja, unsur O saja, unsur K saja atau unsur pelengkap saja.
Konstruksi frasa bersifat nonpredikatif.
2.2.
Pengertian
Frasa Adjektival
Frasa
adjektival adalah satuan sintaksis yang terbentuk dari dua kata atau lebih yang
dapat menggantikan kategori adjektiva.
Frasa ini memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Adjektiva berfungsi
sebagai inti. Konstruksi frasa adjektival bias tersusum secara endosentris
subordinatis dan endosentris koordinatif.
Endosentris subordinatif yaitu konstruksi frasa adjektival
yang terdiri atas inti dan pewatas. Contoh :
Dalam frasa semakin gemuk, kata semakin merupakan pewatas dan kata gemuk merupakan inti.
Endosentris koordinatif yaitu konstruksi frasa adjektival
yang terdiri dari dua unsur inti. Contoh :
Dalam frasa sangkil
dan mangkus, kedua adjektiva tersebut merupakan inti yang saling
melengkapi.
2.3.
Hubungan
Fungsional Antarunsur dalam Frasa Adjektival
Hubungan fungsional antarunsur dalam frasa
adjektival dan makna gramatikannya, yaitu sebagai berikut :
1. Hubungan
fungsional antara adverbial sebagai pewatas depan dan adjektiva sebagai inti.
F.Adj :
Adv + Adj
|
Pewatas
|
Inti
|
Lebih rajin
|
Lebih
|
Rajin
|
Terlalu pintar
|
Terlalu
|
Pintar
|
Sangat malas
|
Sangat
|
malas
|
2. Hubungan
fungsional antara adjektiva sebagai inti dan adverbial sebagai pewatas
belakang. Adverbia yang bias berfungsi sebagai pewatas belakan adalah lagi, kembali, juga, saja, dan sekali.
F.Adj :
Adj + Adv
|
Pewatas
|
Inti
|
Rajin sekali
|
Rajin
|
sekali
|
Sakit lagi
|
Sakit
|
lagi
|
Setia juga
|
Setia
|
juga
|
3. Hubungan
fungsional antara adjektiva sebagai inti dan nomina sebagai pewatas belakang. Contoh : gagah perwira. Kata gagah termasuk adjektiva dan berfungsi
sebagai inti, sedangkan kata perwira
termasuk nominal dan berfungsi sebagai pewatas.
4. Hubungan
fungsional antara adjektiva sebagai inti dan adjektiva sebagai pewatas
belakang. Contoh : biru muda.
5.
Hubungan
fungsional antara adjektiva sebagai inti dan verba sebagai pewatas belakang.
Contoh berani tempur.
6. Hubungan
fungsional antara dua kata berbentuk adjektiva yang keduanya berfungsi sebagai
inti. Contoh : gelap gulita.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Deskrisi Data
Data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu
cerita pendek berjudul Jendela Rara karya Asma Nadia dari Buku Album
Cerita Pilihan Asma Nadia : Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci, terbitan
Asma Nadia Publishing House, hlm. 87-99.
3.2. Cerpen Jendela Rara Karya Asma
Nadia
JENDELA RARA
Sebuah rumah
imut
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
Apa lagi?
Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari
belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah
pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah
mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.
“Mak,
kapan kita punya rumah?”
Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap
disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang
rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting
apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya,
hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok.
Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga.
“Mak,
kapan kita punya rumah?”
Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang
pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari
Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis,
Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat
sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka
sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri
hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol
menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar
lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat
ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana.
Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung
dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK
umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah
bisa mandi puas.
Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang
sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang
paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang
semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap…
“Ini rumah kita, Ra!”
Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering
ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan
tumah tinggal yang diimpikannya:
Sebuah
rumah imut
dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
Emak
tampak kaget dengan tanggapan anaknya.
“Rara mau
punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”
“Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak
apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti?
pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip
kegiatannya setiap hari?
Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang.
Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?
Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa,
kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya,
kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya
dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih.
Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya
sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki,
selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher
dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak
kecil.
Rara anaknya yang bontot. Sangat keras kepala dan punya keinginan
kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan
hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.
“Jendelanya
bisa masuk matahari, enggak, Mak?”
Rara menggoyang bahu Emaknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya
itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan
jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
Di
Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”
Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan
sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah.
“Yang bener,
Ra?”
Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika
impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki
rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk
ke dalamnya.
“Kita bisa
hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”
Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang
lebar.
“Bisa
belajar di sana dong?”
“Iya!
Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”
Senyum
lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.
“Aku mau
minta ibuku bikin jendela juga, ah!”
“Aku
juga!”
“Apa?
Jendela di rumah Rara?”
“Gue juga
deh. Mau bilang Bapak!”
“Enak ada
jendela!”
Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan
punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga
menjadi mimpi anak-anak yang lain.
“Jendelaku
nanti paling buesar!”
Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore
itu sepulang dari madrasah.
“Jadi bikin jendela, Ra?”
Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu
mengamati hasil coretan adiknya.
“Udah malam kok belum tidur?”
Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik
kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.
“Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi.
“Jendela? Kok gede banget!”
Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat
menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu
menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.
“Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan
penuh harap.
Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar usang.
Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan
mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika
hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih
besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol
plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas
saja.
“Bang…”
Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan
abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi
keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan.
Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak
semangat.
“Masih ngeributin soal jendela?”
Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan
sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi
Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.
“Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat
banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.”
“Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai
Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
“Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!
Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat
kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah,
rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”
Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.
“Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup
tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”
Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati.
Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi
karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin
menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya
juga jadi kasar.
Rara tahu, tidak cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu
si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik
rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu
menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut
Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.
Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit,
pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.
“Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya
mengagetkan Rara.
“Asih!”
Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.
“Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang
lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.
Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang
menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo
jendela itu…
“Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita
enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!”
jawab Rara tak kalah keras.
“Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan
kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam,
kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya
itu tahu?
“Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”
Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak
tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara
lunak.
“Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita
perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”
“Dan itu mahal, tau, Ra!”
“Ssst… Asih!”
Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara
melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca.
Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik
yang timbul, lalu menempeleng keduanya.
Dan semua gara-gara jendela besar Rara.
Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen
lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau
membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir
Rara.
Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak
membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara
jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip
bintang-bintang malam hari.
Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari
sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya
ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo
di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis
kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah
jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa
menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan
itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat
tinggi.
“Assalamu’alaikum! Emak?”
Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh
watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih
terang.
“Mak, sini.”
Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang
satu kakinya telah patah.
“Apaan sih, Ra?”
Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa
lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi
mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara
memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang
memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat
menguap dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak
terpancar di wajahnya yang oval.
“Mak, tebak!”
“Apaan?”
Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu
lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.
Rara
menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah
keringat.
“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan
karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!”
Papar gadis kecil itu ceriwis.
Jendela?
Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut
wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu
riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah
terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena
kebahagiaan yang meletup-letup.
“Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat
tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya.
Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu,
terus kaca, terus…”
Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang
tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius.
“Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama
orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri
situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang
lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar
matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua
RT tidak bisa mengizinkan!”
Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran
di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan.
Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan
rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar. Waktu masih
terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang
kertas dan receh di tangannya.
Rumah
kami, 2003
3.3. Frasa Adjektival dalam Cerpen
Jendela Rara karya Asma Nadia
Dalam
cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia terdapat 17 frasa adjektival, yaitu
sebagai berikut :
1.
lebih
kokoh
Frasa
lebih kokoh merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata kokoh termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
2.
sangat
sederhana
Frasa
sangat sederhana merupakan frasa endosentris
subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata sederhana termasuk adjektiva berfungsi
sebagai inti.
3.
rajin
sekolah
Frasa rajin sekolah merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata rajin termasuk adjektiva berfungsi
sebagai inti dan kata sekolah termasuk
verba berfungsi sebagai pewatas.
4.
sangat
keras kepala
Frasa
sangat keras kepala merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata keras kepala termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
5.
ikut
senang
Frasa
ikut senang merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata ikut termasuk
verba berfungsi sebagai pewatas dan kata senang
termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.
6.
lebih
besar
Frasa
lebih besar merupakan frasa endosentris
subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata besar termasuk adjektiva berfungsi
sebagai inti.
7.
makin
panas
Frasa
makin panas merupakan frasa endosentris
subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata makin termasuk adverbia berfungsi sebagai pewatas dan kata panas termasuk adjektiva berfungsi
sebagai inti.
8.
kuat
banget
Frasa
kuat banget merupakan frasa endosentris
subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata kuat termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti dan kata banget termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas.
9.
lembut
dan baik hati
Frasa
lembut dan baik hati merupakan frasa
endosentris koordinatif karena tersusun atas inti dan inti.
10. makin menor
Frasa
makin menor merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata makin termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata menor termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
11. tidak tega
Frasa
tidak tega merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata tidak termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata tega termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
12. lebih giat
Frasa
lebih giat merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata lebih termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata giat termasuk adjektiva berfungsi sebagai inti.
13. sangat tinggi
Frasa
sangat tinggi merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sangat termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata tinggi termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
14. masih terang
Frasa
masih terang merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata masih termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata terang termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
15. sedikit cemas
Frasa
sedikit cemas merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata sedikit termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata cemas termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
16. terlalu riang
Frasa
terlalu riang merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata terlalu termasuk adverbia berfungsi
sebagai pewatas dan kata riang termasuk
adjektiva berfungsi sebagai inti.
17. coklat tua
Frasa
coklat tua merupakan frasa
endosentris subordinatif karena tersusun atas inti dan pewatas. Kata coklat termasuk adjektiva berfungsi
sebagai inti dan kata tua termasuk adjektiva berfungsi sebagai
pewatas.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
dihasilkan yaitu di dalam cerpen berjudul Jendela Rara karya Asma Nadia, yaitu terdapat
17 frasa adjektival yang berbeda, terdiri dari 16 frasa endosentris
subordinatif dan 1 frasa endosentris koordinatif. 13 diantaranya merupakan
hubungan fungsional antara adverbia sebagai pewatas depan dan adjektiva sebagai
inti.
4.2
Saran
Dari makalah ini, penulis sadar bahwa hasil analisi frasa dalam cerita pendek berjudul Jendela Rara
karya Asma Nadia masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
kami meminta kritik dan saran dari pembaca agar lebih baik dalam penyusunan,
dan untuk tugas-tugas analisis selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi,
Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Khairah,
Miftahul & Sakura Ridwan. 2014. Sintaksis:
Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar