JENIS KALIMAT IMPERATIF DALAM CERPEN “MAAF” KARYA PUTU WIJAYA
Dosen Pengampu:
Dr. Miftahul Khairah Anwar, M.Hum
Disusun oleh:
Indriany
Ayu Miranthi (2125153705)
Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
jenis kalimat imperatif dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya.
Tugas ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah serta dikemudian hari.
Akhir kata penulis berharap semoga
makalah hasil penelitian
kalimat imperatif dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Jakarta, Januari 2017
Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Ilmu bahasa mengalami perkembangan terus menerus sesuai perkembangan
fenomena bahasa itu sendiri dalam bermasyarakat. Bahasa memiliki banyak makna
dan hubungan fungsi bagi penuturnya. Dalam ilmu linguistik dipelajari juga ilmu
tentang hubungan fungsi antar kalimat yang lebih dikenal dengan ilmu sintaksis
yang merupakan subsistem tata bahasa mencangkup kata, dan satuan-satuan yang
lebih besar dari kata, serta hubungan antara satuan itu (Kridalaksana,1985:6). Antara
satuan bahasa berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana memiliki hubungan
fungsional, yang berarti hubungan ketergantungan dengan fungsi unsur yag satu
dengan yang lainnya, yang kemudian dapat dianalisis dari struktur bahasa yang
biasa disebut sebagai hubungan fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi
internal meliputi fungsi semnatik, sinteksis, dan fungsi prakmatik. Adapun
fungsi eksternal adalah fungsi yang berhubungan dengan orientasi tujuan
komunikasi bahasa yang meliputi fungsi instrumental, regulasi,
representasional, personal, interaksional dan imajinatif.
Seperti yang sudah dijelaskan di
atas bahwa dalam penggunaan berbahasa, masyarakat memiliki fungsi yang dimaksud
berupa pesan yang ingin disampaikan oleh penuturya. Adanya tjuan yang ingin
disampaikan tidak hanya terjadi dalam ragam bahasa lisan melaikan juga terjadi
dalam ragam bahasa tulis yang berarti tidak hanya ada penutur yang ingin
menyampaikan pesan kepada pendengar, tetapi ada juga penulis yang ingin
menyampaikan pesan kepada pembaca.
Banyaknya fungsi pembentuk makna
yang terdapat dalam satuan bahasa berupa kata, frasa, klausa, kalimat atau
wacana, terkadang menyababkan hadirnya perbedaan penangkapan makna terhadap
tujuan atau pesan yang ingin disampaikan penutur maupun penulis dengan makna
yang ditangkap oleh penutur maupun pembaca. Terlebih dalam ragam bahasa tulis
sering mengalami perubahan fungsi pembentuk makna antara apa yang disampaikan penulis
dengan apa yang diterima pembaca.
Seringnya terjadi kesalahfahaman
maksud tujuan dalam berbahasa khususnya ragam bahasa tulis, maka peneliti
bermaksud untuk meneliti fungsi yang terdapat dalam salah satu jenis ragam
bahasa tulis berupa cerpen “ MAAF” karya Putu Wijaya. Lebih rinci lagi peneliti
akan memfokuskan pada penelitian fungsi eksternal berupa fungsi instrumental,
yang disampaikan secara implisit serta mengandung kekuasaan untuk mempengaruhi
orang lain, yang apabila berada dalam satuan bahasa kalimat, maka fungsi ini
termasuk kedalam jenis kalimat imperatif, yang berarti peneliti akan meneliti
fungsi instrumental berupa jenis kalimat
imperatif yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya.
2.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diawal,
maka rumusan masalah yang akan penulis ambil adalah :
1.
Apa saja jenis kalimat imperatif yang terdapat dalam cerpen karya Putu
Wijaya
2.3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah, peneliti memberikan
batasan penelitian dalam penelitian ini. Batasan masalahnya ialah pada jenis kalimat imperaif yang terdapat dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya. Artinya,
jenis kalimat berdasarkan fungsi eksternal lainnya tidak
menjadi bagian dalam penelitian ini.
2.4.
Tujuan
2.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui jenis kalimat imperatif yang terdapat
dala cerpen karya Putu Wijaya.
2.4.2. Tujuan Khusus
Untuk menginformasikan kepada masyarakat jenis kalimat
imperatif yang terdapat dalam cerpen karya Putu Wijaya.
2.5.
Manfaat Penalitian
Manfaat penelitia ini digunakan sebagai
referensi bagi peneliti berikutnya apabila ingin meneliti hal yang berkenaan
dengan fungsi eksternal kalimat, khususnya kalimat imperatif dalam cerpen.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Hakikat Sintaksis
Verhaar
(2001: 161) menyatakan sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan
antarkata dalam tuturan. Tuturan adalah apa yang dituturkan orang. Salah satu
satuan tuturan adalah kalimat. Lebih lanjut,
Verhaar (2001: 161) menjelaskan bahwa kalimat adalah
satuan yang merupakan suatu keseluruhan yang memiliki intonasi tertentu sebagai
pemarkah keseluruhan itu. Dalam ortografi, pemarkah tersebut dilambangkan
dengan tanda baca. Pada dasarnya, sintaksis itu berurusan dengan hubungan
antarkata di dalam kalimat.
Khairah dan Ridwan (2014:10)
menjelaskan bahwa sintaksis berusaha menjelaskan hubungan fungsional antara
unsur-unsur dalam satuan sintaksis yang tersusun bersama dalam wujud frasa,
klausa, kalimat dan wacana.
2.2. Hakikat Cerpen
Sumardjo
(2007: 62) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi (bukan analisis)
yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja
dan kapan saja) serta relatif pendek. Akan tetapi dengan hanya melihat fiksi
yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan cerita yang pendek adalah sebuah
cerpen. Di samping ciri yang tadi, yaitu cerita yang pendek ciri dasar yang
lain adalah sifat rekaan (fiction). Menurut Zaidan Hendy (dalam
Kusmayadi 2010:7), cerpen adalah karya sastra berbentuk prosa yang isinya
merupakan kisah kisah pendek yang mengandung kesan tunggal.
2.2. Hakikat Kalimat Imperatif
2.2.1. Definisi Kalimat
Imperatif
Chaer (2009:197) berpendapat bahwa kalimat imperatif
adalah kalimat yang meminta pendengar atau pembaca melakukan suatu tindakan.
Kalimat imperatif ini dapat berupa kalimat perintah, kalimat himbauan, dan
kalimat larangan. Kalimat imperatif mengharapkan
adanya reaksi berupa tindakan fisik, menurut sifatnya dapat dibedakan adanya
kalimat imperatif yang tegas, yang biasa, dan yang halus.
Rahardi (2006:79) menjelaskan bahwa kalimat
imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan
suatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa
indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras atau kasar sampai
dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dalam bahasa
Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, diklasifikasikan
menjadi lima macam, yakni kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif
permintaan, kalimat imperatif pemberian izin, kalimat imperatif ajakan, dan
kalimat imperatif suruhan.
2.2.2.
Ciri-ciri Kalimat Imperatif
Keraf (1991:206) mengungkapkan bahwa
ciri-ciri kalimat perintah yaitu: a) menggunakan intonasi keras (terutama
imperatif biasa dan larangan) b) kata kerja yang mendukung isi perintah itu
merupakan kata dasar dan c) menggunakan partikel –lah.
2.2.3. Jenis Kalimat Imperatif
Khairah
dan Ridwan (2014:222-224) Jika ditinjau dari isi atau amanatnya, kalimat
perintah dapat diperinci menjadi kalimat perintah biasa, kalimat perintah
halus, kalimat ajakan, kalimat-kalimat harapan, kalimat permohonan, dan kalimat
larangan.
a.
Kalimat perintah biasa : kalimat perintah biasa
digunakan jika pembicara menyuruh lawan bicaranya berbuat sesuatu. Dapat
diwujudkan dengan verba dasar bertanda seru, verba dasar dengan partikel lah bertanda seru, atau verba dasar
bertanda seru.
b.
Kalimat perintah halus : digunakan jika pembicara tampaknya
tidak memerintah lagi, tetapi menyuruh, mecoba, atau mempersilakan lawan bicara
berbuat sesuatu (alwi,dalam khairah 2014:223), yang menggunakan sejumlah kata
seperti tolong(lah), coba(lah), silakan,
sudi(Lah), kiranya. Ada juga kalimat perintah introgatif dan kalimat
perintah berbentuk kalimat pasif dengan imbuhan di- agar lebih halus.
c.
Kalimat ajakan atau harapan : digunakan jika pembicara
mengajak atau berharap lawan bicara berbuat sesuatau, biasanya ditandai dengan
adanya kata ayo(lah), mari(lah), harap. Dan
hendaknya.
d.
Kalimat permohonan : digunakan jika pembicara, demi
kepentingannya, meminta atau memonon lawan bicara untuk melakukan sesuatu yang
biasanya ditandai dengan kata minta atau
mohon.
e.
Kalimat larangan : digunakan untuk menyuruh
lawan tutur tidak melakukan sesuatu tindakan yang ditandai oleh adanya kata jangan di awal kalimat. Partikel lah dapat ditambahkan pada kata tersebut
untuk memperhalus larangan.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan menjabarkan analisis cerpen
MAAF karya Putu Wijaya untuk kemidian dideskripsikan dalam pembahasan yang
peneliti buat dalam bab ini.
3.1. Analisis Cerpen
MAAF
Putu Wijaya
Dimuat di Jawa Pos 19 September 2010
Dimuat di Jawa Pos 19 September 2010
Pada hari raya Idul Fitri muncul tamu
yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan
ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku sangat
berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam aku
berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku bolak-balik,
mencoba menyibak, siapa
kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang
karena satu dan lain sebab aku lupakan? Orang yang keliru menyangka aku
temannya? Penipu atau orang sakit jiwa? Setengah jam pertama lewat, tetapi
masih tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi
menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan
bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya.
Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak
memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di
rumah. Tentu saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang
sudah hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya, lalu
mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar dengan sebuah
gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik lagi. Aku membuang muka
karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan
setoples kacang sebelum kemudian pamit pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu.
Ternyata dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai
mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang panjang
sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan
kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari Jakarta. Tidak
ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di
Jakarta. Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia
datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap cemas
aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari mulutnya. Tapi
setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah memuji kegurihan
dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak dari semua kacang yang pernah
dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah
tinggi. Mungkin diabet atau jan tung berdebar-debar. Apa aku masih rajin
olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing
dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian
ia menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat
pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi nampaknya itu
mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda yang aktif. Jadi
bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang menjadi salah satu
pembunuh kejam itu. Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha
untuk membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena
cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak
sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya sendiri
yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa
takut, karena sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja
tapi dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.Aku
terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga
berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu
menganggap aku sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya
mengunyah kacang, ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa
dilakukan oleh manusia tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan
berdosa dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha
menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang lain,
orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang
yang sudah melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau
bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-jangan
pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa. Bagi yang
tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya sama. Orang itu berarti
ikut membantu melakukan perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan
mereka yang berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang
berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga ia
tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan insaf.
Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sadar
perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang untuk minta maaf
karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi
orang itu, dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang
bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih berat, sebab
orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu tindakannya tidak lagi
terkendali, karena ia seperti orang yang tidak berkemampuan. Sebaliknya, orang
yang berdaya yang tidak punya kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah
yang akan menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan
kesabaran. Kacang di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar
tamu yang tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku.
Padahal sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori
tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ Makan
kacang dan bicara. Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat
bangkit dan menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan
saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik, sekarang
saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil menangkap tanganku. Aku
tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika orang itu mencium tanganku,
lalu bergegas pergi. Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk
menunjukkan rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya
bengong di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan
kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi
bertamu.
“Ayo Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan
selamat hari raya!”
Istriku tercengang.
“Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak
korupsi uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti
malu besar. Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta
maaf karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan
biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang
kemarin mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke
situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang
tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri
tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.”
Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang
sudah menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku
putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat seenak
perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak perutnya main tuduh
mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut nilai sampai setengah
miliar. Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan oleh bendahara pada
warga yang memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri.
Dan orang kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat.
Belum apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas,
ingin menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg.
Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas kesalahannya itu
ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang berusaha
memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah diacuhin
warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya
open house, supaya kita semuarame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan
kita semua yang salah. Itu kanmemutar balik soal. Ngapain kita meladeni orang
yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau
makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke
sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi
suvenir.Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun,
ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau
membatalkan tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk,
Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi
datang. Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk.
Terpaksa dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa
besar.
“Sabar. Niat kita
datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk
saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan.
Terpakasa aku terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas
satu. Aku merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang berserakan
di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu, tidak dibagikan
saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.
“Silakan
Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang,
pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya
bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku
melabrak dengan sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak
nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar
untuk bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau
akan datang. Silakan
menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku.
Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan
niat suci dan luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi
tukang jilat muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka
langsung mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang
sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan bersilaturahmi
pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa
meskipun kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang
kemari karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah
pembelajaran moral kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga
nongol, akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke
belakang, kami buru-buru kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari
tekanan batin, “meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak
mau masuk lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan
tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke situ, karena
semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang karena jiwa kita yang
besar, akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju,
istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang
sebenarnya terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya,
karena matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang
salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita. Dia pikir
dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat itu
penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau
ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku
banting kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas,
aku tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur
berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang
minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya
masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang…”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?”
“Udah tak bilangin begitu, tapi di sitiunya ngotot mau
nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima
anaknya. Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan
menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan
sabar hanya untuk minta maaf. Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu
mendekat, langsung menjabat tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya
dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium
tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan
senyap. Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan
silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan gesit
mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu melenyapkannya ke
belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan
oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya menendang semua
permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi lebih banyak lagi baku
hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya adalah mahakarya. Aku memejamkan
mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di
kursi sebelum sempat aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari
memejamkan matanya yang lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada.
Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?”
Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku
terkesima. Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu
saja lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik
teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari tubuhnya,
tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,”
bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar
dari dalam rumah menegur.
“Tidur Pak, sudah malam.”
“Ya sebentar lagi.”
“Jangan
pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk.
Setelah itu dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun
kita tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak akan
kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya
tidak semua yang mereka katakan. ***
Jakarta, 27 Agustus 2010
3.1.1. Kalimat Imperatif Yang Terdapat Dalam Cerpen
a. Kita ke sana
saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
b.
Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui
dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena
sudah membiarkan orang terus berdosa.
c.
Ayo cepet! Nanti keburu malam.
d. Silakan masuk,
silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
e. “Sabar. Niat
kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari
untuk saling memaafkan.”
f.
Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja.
g. Silakan
menunggu sebentar.
h.
“Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak
paru-paru, ayo!”
3.3.2. Jenis Kalimat Imperatif
Yang Terdapat Dalam Cerpen
a. Kalimat perintah biasa
b. Kalimat perintah halus
c. Kalimat Permohonan
d. Kalimat laragan
3.2. Pembahasan
Pada bagian pembahasan ini
peneliti akan mendeskripsikan hasil dari analisis yang telah dilakukan pada sub
bab analisis cerpen MAAF karya Putu Wijaya. Peneliti akan menjelaskan kalimat
yang mana sajakah yang termasuk ke dalam jenis kalimat imperatif biasa, halus,
permohonan atau larangan, kalimat yang akan peneliti jelaskan hanya
kalimat-kalimat imperatif yang peneliti dapatkan dari cerpen yang dimaksud,
yang sudah peneliti jabarkan dalam seb bab sebelumnya. Maka pembahasannya adalah sebagai berikut,
a. “ Kita ke sana
saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Kalimat ini Termasuk ke dalam jenis kalimat
imperatif berupa kali kalimat perintah
biasa dan kalimat larangan. Sebab terdapat kata “jangan” dalam kalimat ini
yang termasuk ke dalam syarat dari kalimat larangan. Ada juga bagian dari
kalimat ini yang merupakan kalimat perintah biasa yaitu pada kalimat “Sekarang,
mumpung masih siang.” Yang berarti penutur memerintahkan untuk melakukan hal
tersebut sekakarang juga.
b.
Dia bilang
tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya
dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus
berdosa.
Kalimat ini termasuk ke dalam jenis kalimat
imperatif jenis kalimat permohonan, sebab
terdapat kepentingan berupa permohonan untuk melakukan sesuatu dalam hal ini
tamu meninta tuan rumah untuk membantu mengurangi dosa orang yang berdosa, yang
ditandai dengan kalimat “tolonglah” dalam kalimat.
c.
Ayo cepet!
Nanti keburu malam.
Kalimat ini yang merupakan kalimat perintah biasa yaitu pada
kalimat “Ayo cepet!” Yang berarti penutur memerintahkan untuk melakukan hal
tersebut dengan cepat, yang lebih dipertegas dengan adanya intonasi final
berupa tanda baca seru (!) di akhir kalimat sebelum di lanjutkan dengan kalimat
baru.
d.
Silakan masuk,
silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat
imperatif jenis kalimat perintah halus
dimana dalam kalimat terdapat kata kunci “silakan” yang merupakan syarat dari
jenis kalimat perintah halus.
e.
“Sabar. Niat
kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari
untuk saling memaafkan.”
Kalimat ini termasuk dalam jenis kalimat larangan yang dibuktikan dengan
adanya kata “jangan” dalam kalimat, dimana tokoh utama memerintahkan istrinya
untuk tidak merusak niat baik dengan perasaan negatif
f.
Silakan Bapak
dan Ibu, yang santai saja.
Kalimat ini
termasuk ke dalam kalimat iumperatif jenis kalimat
perintah halus yang dibuktikan dengan adanya kata kunci “silakan” yang berarti
penjaga tamu dalam cerpen memerintahkan secara halus kepada tokoh utama untuk
bersikap santai.
g.
Silakan
menunggu sebentar.
Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat
imperatif jenis kalimat perintah halus
dimana dalam kalimat terdapat kata kunci “silakan” yang digunakan penerimatamu
untuk memerintahkan tokoh utama yang berperan sebagai tamu agar menunggu
sebentar.
h.
“Jangan pakai
sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Kalimat ini termasuk dalam jenis kalimat larangan dan kalimat perintah bias,a
yang dibuktikan dengan adanya kata “jangan” dalam kalimat yang digunakan istri
saat memerintahkan suami sebagai tokoh utama masuk ke dalam rumah tanpa alasan
sebentar lagi.
BAB IV
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam
penelitian jenis kalimat imperatif dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya adalah
bahwa dalam cerpen ini hanya terdapat empat jenis kalimat imperatif dari liman
kalimat imperatif yang ada pada landasan teori yang peneliti gunakan. Kalimat
imperatif yang terdapat dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya yaitu kalimat
perintah biasa, kalimat peritah halus, kalimat permohonan dan kalimat larangan,
sedangkan kalimat imperatif berupa kalimat Ajakan atau Harapan tidak terdapat
dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya.
5.2. Saran
Dari hasil
penelitian ini penulis sadar bahwa masih banyaknya terdapat kekurangan dalam
proses, teori, maupun pembahasan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini,
untuk itu peneliti sangat menerima kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
dipenelitian peneliti selanjutnya. Terlebih dalam penelitian jenis kalimat
imperaif dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya ini, kurangnya penelitian yang
peneliti lakukan kali ini dapat dilengkapi oleh pembaca dalam penelitian
pembaca. Penelitipun menyarankan bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian
jenis kalimat imperatif agar menari data yang berbeda agar mendapatkan hasil
yang lebih lengkap dari setiap jenis kalimat imperatif yang ada. Adapun,
pembaca yang ingin meneliti cerpen MAAF karya Putu Wijaya dapat menggunakan pendekatan
lain yang lebih menunjang dan sesuai dengan kelengkapan data yang terdapat
dalam cerpen.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.
2009. Sintaksis Bahasa Indonesia:
Pendekatan Proses. Jakarta: PT. Asdi Mahastya.
Keraf, Gorys.
1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa
Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kusmayadi,
Ismail. 2010. Lebih Dekat dengan Cerpen. Jakarta :
Trias Yoga Kreasindo.
Rahardi,
Kunjana. 2006. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Ridwan,
Miftahul Khairah dan Sakura. 2014. Sintaksis:Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fugsi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Sumardjo, Jakob.
2007. Menulis Cerpen. Yogyakarta :
Pusaka Pelajar.
Verhaar.
2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar