Senin, 09 Januari 2017

JENIS KALIMAT IMPERATIF DALAM CERPEN “MAAF” KARYA PUTU WIJAYA OLEH Indriany Ayu M

JENIS KALIMAT IMPERATIF DALAM CERPEN “MAAF” KARYA PUTU WIJAYA



Dosen Pengampu:
Dr. Miftahul Khairah Anwar, M.Hum

Disusun oleh:
Indriany Ayu Miranthi (2125153705)

Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
2016


KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian jenis kalimat imperatif dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya.

           
Tugas ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
            Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah serta dikemudian hari.
            Akhir kata penulis berharap semoga makalah hasil penelitian kalimat imperatif dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Jakarta,  Januari  2017


Peneliti




BAB I
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang

                Ilmu bahasa mengalami perkembangan terus menerus sesuai perkembangan fenomena bahasa itu sendiri dalam bermasyarakat. Bahasa memiliki banyak makna dan hubungan fungsi bagi penuturnya. Dalam ilmu linguistik dipelajari juga ilmu tentang hubungan fungsi antar kalimat yang lebih dikenal dengan ilmu sintaksis yang merupakan subsistem tata bahasa mencangkup kata, dan satuan-satuan yang lebih besar dari kata, serta hubungan antara satuan itu (Kridalaksana,1985:6). Antara satuan bahasa berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana memiliki hubungan fungsional, yang berarti hubungan ketergantungan dengan fungsi unsur yag satu dengan yang lainnya, yang kemudian dapat dianalisis dari struktur bahasa yang biasa disebut sebagai hubungan fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi internal meliputi fungsi semnatik, sinteksis, dan fungsi prakmatik. Adapun fungsi eksternal adalah fungsi yang berhubungan dengan orientasi tujuan komunikasi bahasa yang meliputi fungsi instrumental, regulasi, representasional, personal, interaksional dan imajinatif.
            Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dalam penggunaan berbahasa, masyarakat memiliki fungsi yang dimaksud berupa pesan yang ingin disampaikan oleh penuturya. Adanya tjuan yang ingin disampaikan tidak hanya terjadi dalam ragam bahasa lisan melaikan juga terjadi dalam ragam bahasa tulis yang berarti tidak hanya ada penutur yang ingin menyampaikan pesan kepada pendengar, tetapi ada juga penulis yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca.
            Banyaknya fungsi pembentuk makna yang terdapat dalam satuan bahasa berupa kata, frasa, klausa, kalimat atau wacana, terkadang menyababkan hadirnya perbedaan penangkapan makna terhadap tujuan atau pesan yang ingin disampaikan penutur maupun penulis dengan makna yang ditangkap oleh penutur maupun pembaca. Terlebih dalam ragam bahasa tulis sering mengalami perubahan fungsi pembentuk makna antara apa yang disampaikan penulis dengan apa yang diterima pembaca.
            Seringnya terjadi kesalahfahaman maksud tujuan dalam berbahasa khususnya ragam bahasa tulis, maka peneliti bermaksud untuk meneliti fungsi yang terdapat dalam salah satu jenis ragam bahasa tulis berupa cerpen “ MAAF” karya Putu Wijaya. Lebih rinci lagi peneliti akan memfokuskan pada penelitian fungsi eksternal berupa fungsi instrumental, yang disampaikan secara implisit serta mengandung kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain, yang apabila berada dalam satuan bahasa kalimat, maka fungsi ini termasuk kedalam jenis kalimat imperatif, yang berarti peneliti akan meneliti fungsi instrumental berupa jenis  kalimat imperatif yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya.
2.2.      Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diawal, maka rumusan masalah yang akan penulis ambil adalah :
1.      Apa saja jenis kalimat imperatif yang terdapat dalam cerpen karya Putu Wijaya

2.3.      Pembatasan Masalah
            Berdasarkan rumusan masalah, peneliti memberikan batasan penelitian dalam penelitian ini. Batasan masalahnya ialah pada jenis kalimat imperaif yang terdapat dalam cerpen “MAAF” karya Putu Wijaya. Artinya, jenis kalimat berdasarkan fungsi eksternal lainnya tidak menjadi bagian dalam penelitian ini.

2.4.         Tujuan
2.4.1.      Tujuan Umum
            Untuk mengetahui jenis kalimat imperatif yang terdapat dala  cerpen karya Putu Wijaya.
2.4.2.      Tujuan Khusus
            Untuk menginformasikan kepada masyarakat jenis kalimat imperatif yang terdapat dalam cerpen karya Putu Wijaya.
  

2.5.            Manfaat Penalitian
                        Manfaat penelitia ini digunakan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya apabila ingin meneliti hal yang berkenaan dengan fungsi eksternal kalimat, khususnya kalimat imperatif dalam cerpen. 



BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Hakikat Sintaksis
                Verhaar (2001: 161) menyatakan sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Tuturan adalah apa yang dituturkan orang. Salah satu satuan tuturan adalah kalimat. Lebih lanjut,
            Verhaar (2001: 161) menjelaskan bahwa kalimat adalah satuan yang merupakan suatu keseluruhan yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhan itu. Dalam ortografi, pemarkah tersebut dilambangkan dengan tanda baca. Pada dasarnya, sintaksis itu berurusan dengan hubungan antarkata di dalam kalimat.
            Khairah dan Ridwan (2014:10) menjelaskan bahwa sintaksis berusaha menjelaskan hubungan fungsional antara unsur-unsur dalam satuan sintaksis yang tersusun bersama dalam wujud frasa, klausa, kalimat dan wacana.

2.2. Hakikat Cerpen
                Sumardjo (2007: 62) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi (bukan analisis) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek. Akan tetapi dengan hanya melihat fiksi yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan cerita yang pendek adalah sebuah cerpen. Di samping ciri yang tadi, yaitu cerita yang pendek ciri dasar yang lain adalah sifat rekaan (fiction). Menurut Zaidan Hendy (dalam Kusmayadi 2010:7), cerpen adalah karya sastra berbentuk prosa yang isinya merupakan kisah kisah pendek yang mengandung kesan tunggal.

2.2. Hakikat Kalimat Imperatif
2.2.1. Definisi Kalimat Imperatif
            Chaer (2009:197) berpendapat bahwa kalimat imperatif adalah kalimat yang meminta pendengar atau pembaca melakukan suatu tindakan. Kalimat imperatif ini dapat berupa kalimat perintah, kalimat himbauan, dan kalimat larangan. Kalimat imperatif mengharapkan adanya reaksi berupa tindakan fisik, menurut sifatnya dapat dibedakan adanya kalimat imperatif yang tegas, yang biasa, dan yang halus.
            Rahardi (2006:79) menjelaskan bahwa kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif permintaan, kalimat imperatif pemberian izin, kalimat imperatif ajakan, dan kalimat imperatif suruhan.

            2.2.2. Ciri-ciri Kalimat Imperatif
            Keraf (1991:206) mengungkapkan bahwa ciri-ciri kalimat perintah yaitu: a) menggunakan intonasi keras (terutama imperatif biasa dan larangan) b) kata kerja yang mendukung isi perintah itu merupakan kata dasar dan c) menggunakan partikel –lah.

            2.2.3. Jenis Kalimat Imperatif
Khairah dan Ridwan (2014:222-224) Jika ditinjau dari isi atau amanatnya, kalimat perintah dapat diperinci menjadi kalimat perintah biasa, kalimat perintah halus, kalimat ajakan, kalimat-kalimat harapan, kalimat permohonan, dan kalimat larangan.

a.       Kalimat perintah biasa : kalimat perintah biasa digunakan jika pembicara menyuruh lawan bicaranya berbuat sesuatu. Dapat diwujudkan dengan verba dasar bertanda seru, verba dasar dengan partikel lah bertanda seru, atau verba dasar bertanda seru.
b.      Kalimat perintah halus : digunakan jika pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi menyuruh, mecoba, atau mempersilakan lawan bicara berbuat sesuatu (alwi,dalam khairah 2014:223), yang menggunakan sejumlah kata seperti tolong(lah), coba(lah), silakan, sudi(Lah), kiranya. Ada juga kalimat perintah introgatif dan kalimat perintah berbentuk kalimat pasif dengan imbuhan di- agar lebih halus.
c.       Kalimat ajakan atau harapan : digunakan jika pembicara mengajak atau berharap lawan bicara berbuat sesuatau, biasanya ditandai dengan adanya kata ayo(lah), mari(lah), harap. Dan hendaknya.
d.      Kalimat permohonan : digunakan jika pembicara, demi kepentingannya, meminta atau memonon lawan bicara untuk melakukan sesuatu yang biasanya ditandai dengan kata minta atau mohon.
e.       Kalimat larangan : digunakan untuk menyuruh lawan tutur tidak melakukan sesuatu tindakan yang ditandai oleh adanya kata jangan di awal kalimat. Partikel lah dapat ditambahkan pada kata tersebut untuk memperhalus larangan.



BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

            Pada bab ini peneliti akan menjabarkan analisis cerpen MAAF karya Putu Wijaya untuk kemidian dideskripsikan dalam pembahasan yang peneliti buat dalam bab ini.

3.1. Analisis Cerpen

MAAF
Putu Wijaya
Dimuat di Jawa Pos 19 September 2010

Pada hari raya Idul Fitri muncul tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku bolak-balik, mencoba menyibak, siapa
kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku lupakan? Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang sakit jiwa? Setengah jam pertama lewat, tetapi masih tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya. Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya, lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum kemudian pamit pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang panjang sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta. Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi. Mungkin diabet atau jan tung berdebar-debar. Apa aku masih rajin olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang menjadi salah satu pembunuh kejam itu. Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu menganggap aku sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang, ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh manusia tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ Makan kacang dan bicara. Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik, sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil menangkap tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika orang itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi. Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.
“Ayo Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!”
Istriku tercengang.
“Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar. Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.
Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg. Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah diacuhin warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house, supaya kita semuarame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan kita semua yang salah. Itu kanmemutar balik soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi suvenir.Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun, ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang. Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa besar.
“Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu, tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.
Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau akan datang. Silakan menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah pembelajaran moral kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol, akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke belakang, kami buru-buru kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin, “meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita. Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang…”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?”
“Udah tak bilangin begitu, tapi di sitiunya ngotot mau nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya. Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan sabar hanya untuk minta maaf. Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap. Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari memejamkan matanya yang lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada. Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?”
Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima. Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,” bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam rumah menegur.
“Tidur Pak, sudah malam.”
“Ya sebentar lagi.”
Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak akan kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua yang mereka katakan. ***
Jakarta, 27 Agustus 2010

3.1.1. Kalimat Imperatif Yang Terdapat Dalam Cerpen
a.       Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
b.      Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa.
c.       Ayo cepet! Nanti keburu malam.
d.      Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
e.       “Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
f.       Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja.
g.      Silakan menunggu sebentar.
h.      “Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”

3.3.2. Jenis Kalimat Imperatif Yang Terdapat Dalam Cerpen
a.       Kalimat perintah biasa
b.      Kalimat perintah halus
c.       Kalimat Permohonan
d.      Kalimat laragan


3.2. Pembahasan
          Pada bagian pembahasan ini peneliti akan mendeskripsikan hasil dari analisis yang telah dilakukan pada sub bab analisis cerpen MAAF karya Putu Wijaya. Peneliti akan menjelaskan kalimat yang mana sajakah yang termasuk ke dalam jenis kalimat imperatif biasa, halus, permohonan atau larangan, kalimat yang akan peneliti jelaskan hanya kalimat-kalimat imperatif yang peneliti dapatkan dari cerpen yang dimaksud, yang sudah peneliti jabarkan dalam seb bab sebelumnya.  Maka pembahasannya adalah sebagai berikut,

a.  “ Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
    Kalimat ini Termasuk ke dalam jenis kalimat imperatif berupa kali kalimat perintah biasa dan kalimat larangan. Sebab terdapat kata “jangan” dalam kalimat ini yang termasuk ke dalam syarat dari kalimat larangan. Ada juga bagian dari kalimat ini yang merupakan kalimat perintah biasa yaitu pada kalimat “Sekarang, mumpung masih siang.” Yang berarti penutur memerintahkan untuk melakukan hal tersebut sekakarang juga.

b.      Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa.
     Kalimat ini termasuk ke dalam jenis kalimat imperatif jenis kalimat permohonan, sebab terdapat kepentingan berupa permohonan untuk melakukan sesuatu dalam hal ini tamu meninta tuan rumah untuk membantu mengurangi dosa orang yang berdosa, yang ditandai dengan kalimat “tolonglah” dalam kalimat.

c.       Ayo cepet! Nanti keburu malam.
     Kalimat ini yang merupakan kalimat perintah biasa yaitu pada kalimat “Ayo cepet!” Yang berarti penutur memerintahkan untuk melakukan hal tersebut dengan cepat, yang lebih dipertegas dengan adanya intonasi final berupa tanda baca seru (!) di akhir kalimat sebelum di lanjutkan dengan kalimat baru.

d.      Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
     Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat imperatif jenis kalimat perintah halus dimana dalam kalimat terdapat kata kunci “silakan” yang merupakan syarat dari jenis kalimat perintah halus.

e.       “Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
     Kalimat ini termasuk dalam jenis kalimat larangan yang dibuktikan dengan adanya kata “jangan” dalam kalimat, dimana tokoh utama memerintahkan istrinya untuk tidak merusak niat baik dengan perasaan negatif

f.       Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja.
     Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat iumperatif jenis kalimat perintah halus yang dibuktikan dengan adanya kata kunci “silakan” yang berarti penjaga tamu dalam cerpen memerintahkan secara halus kepada tokoh utama untuk bersikap santai.

g.      Silakan menunggu sebentar.
     Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat imperatif jenis kalimat perintah halus dimana dalam kalimat terdapat kata kunci “silakan” yang digunakan penerimatamu untuk memerintahkan tokoh utama yang berperan sebagai tamu agar menunggu sebentar.

h.      “Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
     Kalimat ini termasuk dalam jenis kalimat larangan dan kalimat perintah bias,a yang dibuktikan dengan adanya kata “jangan” dalam kalimat yang digunakan istri saat memerintahkan suami sebagai tokoh utama masuk ke dalam rumah tanpa alasan sebentar lagi.

  
BAB IV
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
     Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian jenis kalimat imperatif dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya adalah bahwa dalam cerpen ini hanya terdapat empat jenis kalimat imperatif dari liman kalimat imperatif yang ada pada landasan teori yang peneliti gunakan. Kalimat imperatif yang terdapat dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya yaitu kalimat perintah biasa, kalimat peritah halus, kalimat permohonan dan kalimat larangan, sedangkan kalimat imperatif berupa kalimat Ajakan atau Harapan tidak terdapat dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya.
5.2. Saran
     Dari hasil penelitian ini penulis sadar bahwa masih banyaknya terdapat kekurangan dalam proses, teori, maupun pembahasan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti sangat menerima kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan dipenelitian peneliti selanjutnya. Terlebih dalam penelitian jenis kalimat imperaif dalam cerpen MAAF karya Putu Wijaya ini, kurangnya penelitian yang peneliti lakukan kali ini dapat dilengkapi oleh pembaca dalam penelitian pembaca. Penelitipun menyarankan bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian jenis kalimat imperatif agar menari data yang berbeda agar mendapatkan hasil yang lebih lengkap dari setiap jenis kalimat imperatif yang ada. Adapun, pembaca yang ingin meneliti cerpen MAAF karya Putu Wijaya dapat menggunakan pendekatan lain yang lebih menunjang dan sesuai dengan kelengkapan data yang terdapat dalam cerpen.




DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: PT. Asdi Mahastya.
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kusmayadi, Ismail. 2010. Lebih Dekat dengan Cerpen. Jakarta : Trias Yoga Kreasindo.
Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Ridwan, Miftahul Khairah dan Sakura. 2014. Sintaksis:Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fugsi.              Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sumardjo, Jakob. 2007. Menulis Cerpen. Yogyakarta : Pusaka Pelajar.
Verhaar. 2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar